Lima Tersisa Empat

Ramadan kali ini berbeda.
Kebiasaan berlima, namun sekarang harus tersisa empat. Meja dan kursi makan yang biasanya digunakan dan diduduki lima orang, kini harus tersisa empat.


Pernikahan anak perempuan.
Tak bisa dipungkiri anak perempuan yang telah menikah harus mengikut kepada suaminya. Pantas saja kala ijab kabul Ayahku yang kuat, untuk kedua kalinya harus kuliat meneteskan air mata. Hal ini karena, terakhir kali aku melihatnya meneteskan air mata yakni saat kepergian nenekku di tahun 2012 silam.

Lima tersisa empat.
Aku mencoba memahami kondisi hati orangtuaku. Aku saja yang hanya seorang anak dan saudara untuk kakakku, merasakan kehilangan dan perbedaan yang mendalam. Apalagi orangtuaku yang dari dalam perut membersamainya.

Lima tersisa empat.
Ganjil yang harus menggenap. Ayahku rupanya kerap kali menghubungi kakakku lewat ponsel. Aku melihat kerinduannya yang mendalam. Meski sering juga cemburu dengan sikapnya yang nampak begitu menyayangi kakakku. Tapi aku tersadar, sikap ini sama saat aku jauh dari rumah. Beliau juga sangat rajin menghubungiku guna menanyakan kabar dan aktivitas harian.

Tapi, kali ini berbeda, Ayah dan Ibuku tidak bisa memiliki banyak waktu untuk sekadar menanyakan kondisi anaknya di luar sana. Beliau sudah memahami konsekuensi pernikahan yang memberikan jarak terhadap anaknya. Seringkali sikapnya nampak tersirat, aku paham mereka merindukan kakakku. 

Lima menggenap enam.
Aku yang tidak tega dengan kerinduan orangtuaku sesekali meminta kakakku untuk kembali menginap di rumah bersama iparku. Kuliat senyum tawa Ayah Ibuku begitu sumeringah kala kedatangan kakak dan iparku.

Lima tersisa empat.
Aku mengingat segala momen bersama kakakku. Sosoknya adalah satu-satunya teman cerita yang bisa setia mendengarkan ceritaku sampai tertidur pulas. Tak jarang ia menjulukiku anak TK, karena detailnya ceritaku di setiap harinya bak mendongengkannya.

Lima tersisa empat.
Di bulan ramadan tahun ini aku belajar banyak hal. Ucapan dan wejangan orangtuaku yang dulu terkesan biasa saja, kini terasa begitu mendalam. Iya, saat aku, adikku, atau kakakku ribut perkara sesuatu. Ayahku selalu bilang, "Sebaik-baiknya orang lain itu lebih baik keluarga sendiri nak.." Menyambung itu Ibuku juga berucap, "Ingat nak, selama-lamanya waktu bersama lebih lama waktu berpisah." Dua petuah itu andalan orangtuaku di kala kami ribut.

Lima tersisa empat.
Hari-hari di bulan ramadan tahun ini cukup berbeda. Tahun sebelumnya aku tertatih berlomba dalam kebaikan bersama kakakku. Semangatku kala itu amat memuncak. Bak bersaing dalam kebaikan, memberikan amunisi yang positif untuk kami.

Namun, tahun ini tersisa cerita yang menjadi kenangan. Sudah berbeda. Lima telah tersisa empat. Tidak begitu suram juga. Ada banyak hikmah juga di dalamnya, Ayahku nampak begitu dalam ketika bercerita. Ia sering meminta kami yang tersisa empat untuk memanfaatkan waktu kebersamaan ini sebaik mungkin. Ayahku nampak belum siap lagi untuk ditinggal salah satu dari kami, ucapannya yang tersirat selalu meminta kami untuk stay membersamainya.

Terima kasih keluargaku yang penuh cinta dan cerita suka duka. Aku banyak belajar hal baik berkat kalian. Ayahku yang selalu memberikan afirmasi positif. Ibuku yang selalu memberikan pandangan objektif dan doa terbaiknya di sepertiga malam. Kakakku yang selalu sabar menghadapi sikapku. Adikku yang selalu setia membantu apa yang tak kumampu.🤍

Komentar

Postingan Populer