Di Balik Sunyi: Keberanian dalam Memberi Tanpa Balasan
Terkadang, aku merasa menjadi satu-satunya yang mendengar dan memahami ketika orang-orang di sekitarku larut dalam kesibukan dan kepentingan masing-masing. Di saat aku merelakan waktu, pikiran, dan emosi untuk mendampingi mereka, kenyataan kadang menghantam dengan dinginnya ketidakpedulian. Aku mencoba membujuk hatiku untuk tidak merasakan kecewa, karena mengerti bahwa setiap orang memiliki pertempuran dalam dirinya, meski seberapa besar aku berharap bisa merasakan kepedulian serupa.
Memberikan pemahaman dan empati telah menjadi bagian dari diriku. Di tengah interaksi yang sering kali sepihak, aku bertanya-tanya apakah kebaikan ini sebanding dengan sepi yang aku rasakan. Apakah perasaan dihargai hanya mitos dalam relasi? Meski begitu, aku terus memupuk harapan bahwa suatu hari akan ada seseorang yang menatapku dengan mata yang penuh pengertian dan menghargai kehadiranku sebagaimana aku menghargai mereka.
Rasanya berat menjadi tempat perhentian orang lain yang mengabaikanku saat mereka telah kembali pulih. Tersenyum di balik rasa lelah dan menyembunyikan harapan kecil dalam hati, aku belajar bahwa memahami orang lain tanpa balasan adalah bentuk keberanian, bukan kelemahan. Meski aku sering merasa sendirian dalam perjalanan ini, aku memilih untuk percaya bahwa memberikan pengertian tanpa syarat tetaplah berharga.
Ketika aku merenung lebih dalam, aku mulai menyadari bahwa mungkin bukan acuh yang menjadi akar permasalahan, tetapi ketidaksadaran mereka tentang betapa berartinya dukungan yang sederhana. Sebuah kebaikan yang kecil, sebuah senyuman, atau sekadar ucapan terima kasih bisa membuat seseorang merasa dilihat. Aku berharap suatu hari orang-orang bisa membuka mata untuk melihat betapa bernilainya rasa saling memahami itu.
Komentar
Posting Komentar