Sunyi yang Dipahami, Harapan yang Tak Tersuarakan
Kadang hidup membawa kita menjadi penenang bagi orang lain, menjadi sosok yang mengerti tanpa diminta, hadir tanpa disadari. Kita terus memberi, mendengar cerita, menampung keluh kesah, dan tersenyum dalam bisu. Namun, ironisnya, ketika hati kita bertanya dalam sunyi, siapa yang akan memahami? Siapa yang akan mendekap tanpa perlu dijelaskan? Di sanalah, dalam keheningan yang rapuh, kita merasa betapa mahalnya pemahaman yang tulus.
Mengerti tanpa dimengerti, itulah seninya. Kita menjadi bahu yang setia, tangan yang menenangkan, dan suara yang menyejukkan. Tetapi saat senja merangkak dan keramaian mulai meredup, ada perasaan kosong yang menyusup, mengingatkan bahwa meski kuat, kita tetap manusia. Manusia yang merindukan satu hal sederhana: dimengerti. Bukan dengan pertanyaan panjang, cukup dengan kehadiran yang paham.
Ada kesedihan yang anggun dalam memilih untuk memahami. Setiap kali kita mendahulukan orang lain, berharap suatu hari akan ada jiwa yang hadir dengan kehangatan yang sama. Seseorang yang menatap dan, tanpa kata, berkata, “Aku mengerti kamu, bahkan dalam diam.” Karena di balik kekuatan untuk terus memberi, ada harapan kecil yang diam-diam berbisik: bahwa pada akhirnya, setiap hati layak memiliki tempat, bahwa ia tidak hanya memberi, tetapi juga dipeluk dalam pengertian.
Komentar
Posting Komentar